Kebijakan Terpadu Satu Pintu (One Gate Policy)

Kebijakan Terpadu Satu Pintu (One Gate Policy)

Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2012 didalamnya mengatur tentang  subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan dimana pemerintah menjamin keamanan, khasiat, manfaat, dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan melalui pembinaan, pengawasan, dan pengendalian secara profesional, bertanggung jawab, independen, transparan, dan berbasis bukti ilmiah. Karena obat merupakan kebutuhan dasar manusia yang tidak tergantikan dalam pelayanan kesehatan, maka obat tidak boleh diperlakukan sebagai komoditas ekonomi semata.

Dalam pelayanan kesehatan, obat dapat menyelamatkan kehidupan dan meningkatkan kualitas kesehatan. Akses terhadap obat, terutama obat esensial merupakan salah satu hak asasi manusia, dengan demikian penyediaan obat esensial merupakan kewajiban bagi pemerintah di semua level mulai dari Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas Kementerian Kesehatan membuat Kebijakan Terpadu yang mengatur Pengadaan Obat (termasuk Perbekalan Kesehatan dan Vaksin) dengan Sistem Satu (One Gate Policy) pada Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan sehingga alokasi anggaran dan proses semua pengadaan/distribusi ke Provinsi/Kabupaten/Kota melalui sistem satu pintu (One Gate).

Tujuan dari kebijakan ini adalah Peningkatan Ketersediaan, Keterjangkauan,Pemerataan, Keamanan, Mutu, dan Penggunaan Obat dan Alat Kesehatan".

Dalam pelaksanaannya Kebijakan ini kurang efektif, tidak sesuai dengan tujuan diharapkan. Kenyataan dilapangan ditemukan beberapa hal antara lain:

  1. Proses pengadaan vaksin yang sering terlambat karena birokrasi yang panjang , mengakibatkan terjadi kekosongan vaksin berdampak pada delay vaksinasi
  2. Sinkronisasi dengan program sebagai drug user dengan pelaksana proses pengadaan belum maksimal, mengakibatkan kegiatan tidak berjalan maksimal (Program Pengobatan Massal Filariasis dicanangkan pada bulan Oktober,sementara pada bulan tersebut beberapa Kabupaten/Kota sebagai daerah endemis belum menerima dropping obat).
  3. Kebijkan tidak disertai dengan pemenuhan sarana dan prasarana pendukung, gudang farmasi masih terbatas sehingga beberapa obat-obatan titipkan pada gudang-gudang penyedia (Proses penyimpanan tidak efektif atau tidak sesuai dengan tatakelola yang standar). Keterbatasan dari segi sumber daya manusia (khusus yang menangani proses pengadaan) pada Direktorat Binfar Alkes terbatas sehinga mempengaruhi lambatnya proses pengadaan berdampak terhadap ketersediaan obat, vaksin.
  4. Kurangnya ketatnya monitoring (tight monitoring), drug user (contoh) Direktorat Jenderal PP dan PL tidak dilibatkan dalam monitoring pasca proses pengadaan/distribusi obat sehingga beberapa masalah obat yang diterima di Dinas Kesehatan Kab/Kota mengalami masalah seperti :expired date singkat, kemasan tidak utuh/rusak.

 Daftar Pustaka

  1. Kencanasari, Tiekha, Achmad Fudholi, and Satibi Satibi. "EVALUATION OF DRUGS SUPPLY MANAGEMENT IN HEALTH DEPARTMENT OF KABUPATEN CILACAP DISTRICT IN 2008, 2009 AND 2010." Journal of Management and Pharmacy Practice 2.2 (2012): 102-107.

  2. Priyatni, Aini Suryani Mubasysyir Hasanbasri Nunung. "Pelaksanaan kebijakan obat generik di apotek Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau." Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia 2.02 (2013).
  
Catatan:
Tulisan pendek ini menggambarkan secara singkat salah satu contoh Kebijakan yang kurang efektif pada Mata Kuliah Kebijakan dan Manajemen Kesehatan.


Husni Mochtar

Program and Information Division
Directorate General Infectious Disease and Environmental Health
Ministry of Health.
Percetakan Negara no.29 Jakarta Pusat
Phone : +62214247537
Mobile : +6281285004375


No comments:

Post a Comment